BANGSA YANG RABUN MEMBACA
BANGSA YANG RABUN MEMBACA
Oleh: A. Nuryadin
Dosen pada Fakultas Agama UNMA Banten
Kepala perpustakaan RI Sri Sularsih mengungkapkan, minat baca
masyarakat Indonesia sangat minim. Data terakhir Badan Pusat Statistik (BPS),
91,8% Masyarakat Indonesia lebih menyukai menonton televisi. Padahal di Amerika
misalnya, dalam satu tahun rata-rata warganya membaca 20 hingga 50 buku. Jepang
20 hingga 30 buku pertahun.
Sementara itu, berdasarkan penilaian UNDP, IPM Indonesia berada
pada peringkat 108 dari 187 negara. Indonesia lebih tinggi dari Myanmar, laos,
Kamboja, Vietnam dan Filipina. Tapi, jika dibandingkan dengan singapura,
Brunai, Malaysia, dan Thailand, Indonesia jauh tertinggal, (republika, 13 Mei
2015)
Hasil penelitian diatas, senada dengan apa yang telah diteliti oleh
PISA (programe for internasional study assessment) dari tahun 2000
hingga 2012, diketahui bahwa minat baca anak Indonesia sangat rendah jauh
dibandingkan dengan Negara-negara yang lain.
Fakta diatas sungguh memprihatinkan.
Kita sudah mafhum, bahwa hanya dengan membaca seseorang akan kaya dengan
ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan akan
melahirkan kreatifitas individu. Dengan
kreatifitas tentu akan lahir berbagai macam karya yang bermanfaat dan bernilai
jual. Dan tidak ada karya yang besar tanpa ilmu pengetahuan yang luas.
Tidak mungkin kita berbicara tentang daya saing bangsa kita dengan
bangsa yang lain. Sementara hal dasar saja, yaitu minat baca masih lemah.
Kekayaan ilmu pengetahuan lahir dari penelitian yang tumbuh subur. Sementara
penelitian muncul diawali dari munculnya permasalahan hasil membaca individu
terhadap alam dan lingkungan sekitar.
Sastrawan Taufik Ismail pernah melontarkan pernyataan yang populer
bahwa orang Indonesia rabun membaca dan pincang menulis. Pernyataan tersebut didasarkan pada temuan penelitian
beliau di kalangan siswa SMA tentang tingkat baca sastra. Dibandingkan Negara
lain, lebih tepatnya Negara-negara di kawasan asia tenggara, siswa Indonesia
berada pada urutan terendah dalam membaca buku sastra setiap tahunnya.
Apa yang diteliti oleh Taufik Ismail tersebut, masih sangat relevan
dengan kondisi saat ini. Dimana masyarakat baik dewasa maupun anak-anak, lebih
suka menyaksikan televisi dari pada membaca buku. Sedang menumbuhkan minat
baca, bukanlah perkara mudah. Minat baca adalah kebiasaan yang harus ditanamkan
sejak dini.
Menanamkan kebiasaan membaca sejak dini
Menurut hemat penulis dua hal yang melemahkan atau menjadikan lemah
tradisi membaca anak Indonesia yaitu buruknya kondisi perpustakaan kita dan
dominannya budaya menonton televisi.
lihatlah perpustakaan yang ada di sekolah-sekolah di negeri ini.
Tentu semua orang faham betapa buruknya kondisi perpustakaan di sekolah sekolah
pada umumnya. Mungkin ada perpustakaan di beberapa sekolah yang kondisinya
cukup baik, ruangan ber AC dan sangat nyaman untuk penjelajahan ilmu
pengetahuan. Koleksi buku yang beragam, dari jenis buku wajib mata pelajaran,
buku bertemakan sosial, ekonomi, budaya serta jenis buku ber genre sastra
tersedia. Sehingga peserta didik sangat
antusias untuk pergi ke perpustakaan dan betah berlama-lama di perpustakaan
demi menambah perbendaharaan ilmu pengetahuan. Sayangnya, bisa dipastikan
jumlah perpustakaan sekolah yang demikian bisa dihitung dengan jari.
Yang terjadi pada umumnya adalah sekolah-sekolah di negeri ini
tidak memiliki perpustakaan. Atau memiliki perpustakaan tetapi dengan kondisi
ruangan yang sempit, tidak terawat dan biasanya berada di ruangan yang memiliki
letak tidak strategis. Tidak memiliki koleksi buku bacaan yang beragam, kecuali
hanya koleksi buku wajib mata pelajaran.
Maka pastinya kita tidak bisa berharap lebih dengan kondisi
perpustakaan yang seperti ini. Peserta didik tidak serta merta akan berkunjung
ke perpustakaan jika perpustakaannya dalam kondisi buruk sebagaimana di
gambarkan diatas. Ditambah lagi koleksi buku yang tidak beragam yang tentunya
tidak menarik minat mereka untuk berkunjung ke perpustakaan. Maka jika melihat
satu faktor ini saja tentunya kita terlalu berlebihan jika mengharapkan mereka
memiliki minat baca yang tinggi, sementara apa yang mau mereka baca?
Buku mata pelajaran saja tidak cukup untuk membentuk kebiasaan
aktivitas baca buku yang tinggi. Diperlukan buku-buku penunjang yang lain untuk
membuat peserta didik semakin haus akan aktivitas membaca. Tentunya hal ini
disesuaikan dengan minat bahan bacaan peserta didik serta melihat pertimbangan
usia. Misalkan perpustakaan sekolah diperkaya dengan koleksi buku sastra berupa
novel dan buku puisi. Ketika siswa semakin tertarik dengan buku sastra dan
melahap semua buku sastra yang ada di perpustakaan, maka efek positifnya adalah
peserta didik akan melahap semua bahan bacaan baik berupa sastra atau materi
yang lain. Karena mereka sudah terjangkit virus positif, haus membaca.
Demikian juga orang tua dan para guru tidak perlu khawatir akan
kelulusan peserta didik pada Ujian Nasional. Mengapa? Tentu karena peserta
didik telah terjangkit virus positif, haus membaca. Dengan sikap haus akan
bacaan tentu akan mendorong mereka untuk melahap semua mata pelajaran baik yang
di ujikan dalam ujian nasional ataupun tidak. Peserta didik membaca semua mata
pelajaran semata karena dorongan ingin mengembangkan ilmu pengetahuan. Karena
mereka sudah terjangkit virus positif, haus membaca.
Mary leonhardt penulis buku 99
ways to get kids love reading, mengatakan “ anak-anak yang gemar
membaca akan mampu mengembangkan pola berfikir kreatif dalam diri mereka.
Mereka tidak hanya mendengar informasi tetapi juga belajar untuk mengikuti
argument-argumen yang kaya dan mengingat alur pemikiran yang beragam.
Faktor kedua yang
menyebabkan buruknya minat baca anak Indonesia adalah tradisi menonton yang
lebih dominan yang tumbuh pada masyarakat kita. Televisi adalah benda ajaib
yang wajib dimiliki oleh sebagian besar keluarga pada masyarakat kita. Dari
masyarakat kelas atas sampai pada masyarakat kelas bawah, televisi bisa di
jumpai dalam berbagai bentuk dengan segala kecanggihan yang di tawarkan. Dengan
sekali tekan pada remot control, penonton bisa mendapatkan apa yang di
inginkan dari siaran televisi baik berupa berita, hiburan berupa sinetron,
acara musik atau gossip.
Maka dengan semakin gandrungnya masyarakat kita pada aktivitas
menonton televisi, perlahan tapi pasti budaya cinta membaca lebih sulit untuk
ditanamkan kepada peserta didik. Sebagaimana istilah yang mengatakan bahwa
manusia adalah anak dari lingkungannya, tentunya ketika lingkungan sekitar
lebih gandrung dengan budaya menonton televisi, bisa dipastikan anak pun
demikian adanya.
Mereka lebih senang mengisi waktu ber jam-jam di depan televisi
dari pada menghabiskannya dengan membaca buku. Membaca buku yang sejatinya
adalah kegiatan merangsang otak anak untuk semakin berfungsi dengan maksimal
dan melatih imajinasi anak, semakin sulit untuk dibudayakan.
Orang tua dan anak-anak lebih senang untuk duduk bersama
menyaksikan acara hiburan yang disuguhkan oleh si kotak ajaib. Suara dan gambar
telah di sajikan dengan sempurna oleh televisi sehingga tidak ada ruang bagi
anak untuk berimajinasi. Menghabiskan waktu berjam-jam dan dilakukan setiap
hari tentu akan mematikan daya imajinasi anak. Padahal Albert Einstein pernah
mengatakan bahwa imajinasi itu lebih penting dari pengetahuan.
Demikian pula dengan aktivitas membaca anak akan terganggu dengan
kehadiran televisi di tengah tengah kita. Bukan berarti penulis mengharamkan
kehadiran televisi. Televisi penting untuk melihat berita yang aktual. Akan
tetapi perlu ada pengaturan jam menonton televisi oleh keluarga demi tumbuhnya
minat baca anak-anak kita.
Bagaimanapun orang tua adalah teladan nomor satu bagi anaknya.
Ketika orang tua lebih senang mengisi waktu dengan membaca buku, tentu bisa
dipastikan anak akan mengikuti apa yang dilakukan oleh orang tuanya.
Sebaliknya orang tua yang tidak peduli dengan aktivitas membaca
anak, dan lebih senang menghabiskan waktu di depan televisi, tentu anak lebih
memilih untuk menemani orang tuanya menyaksikan aneka hiburan di televisi yang
pastinya belum tentu memberikan manfaat. Penanaman kecintaan akan aktivitas
membaca mutlak harus dilakukan sejak dini.
Solusi bagi pemerintah
Pemerintah juga harus bertanggung jawab dengan rendahnya minat baca
masyarakat. Permasalahan rendahnya minat baca tidak bisa begitu saja diserahkan
kepada individu masing-masing.
Pertama, pemerintah harus berkomitmen untuk meningkatkan minat baca
masyarakat dengan cara memperbanyak perpustakaan. Memperbanyak koleksi
perpustakaan. Dan memberikan kemudahan kepada masyarakat untuk mengakses
perpustakaan. Adapun bagi masyarakat yang tidak bisa mengakses perpustakaan,
bisa dengan memperbanyak perpustakaan keliling sebagaimana yang sudah dilakukan
oleh lembaga-lembaga tertentu.
Kedua, menghidupsuburkan PKBM (pusat
kegiatan belajar masyarakat) yang selama ini telah tumbuh di tengah-tengah
masyarakat. Memperbanyak koleksi buku di PKBM untuk semakin menarik minat
masyarakat akan membaca.
Ketiga, pemerintah
perlu mensubsidi harga kertas supaya harga buku di pasaran terjangkau oleh
masyarakat. Selama ini masyarakat enggan membeli buku, salah satu diantaraya
disebabkan mahalnya harga buku.
Keempat, barangkali
kita bisa mencontoh Jogjakarta dalam hal menumbuhkan minat baca masyarakat.
Lihatlah di setiap sudut dan perkampungan di Jogjakarta, disana dipajang Koran
setiap hari untuk bacaan masyarakat. Dengan ini tentu masyarakat tergerak untuk
membaca karena difasilitasi. Dan setelah mereka membaca, tentu ilmu pengetahuan
akan terserap. Dari ilmu pengetahuan, lahirlah kreatifitas. Wallahua’lam